• RSK - Bandar Udara Abresso, Manokwari
• AGD - Bandar Udara Anggi, Anggi
• AAS - Bandar Udara Apalapsili, Jayawijaya
• ARJ - Bandar Udara Arso, Arso
• AYW - Bandar Udara Ayawasi, Sorong
• BXB - Bandar Udara Babo, Babo
• BXD - Bandar Udara Bade, Merauke
• BXM - Bandar Udara Batom, Pegunungan Bintang
• NTI - Bandar Udara Bintuni, Bintuni
• BUI - Bandar Udara Bokondini, Jayawijaya
• DRH - Bandar Udara Dabra, Puncak Jaya
• ELR - Bandar Udara Elilim, Jayawijaya
• EWI - Bandar Udara Enarotali, Enarotali
• EWE - Bandar Udara Ewer, Merauke
• ILA - Bandar Udara Illaga, Paniai
• IUL - Bandar Udara Ilu, Puncak Jaya
• INX - Bandar Udara Inanwatan, Inanwatan
• SOQ - Bandar Udara Jeffman, Sorong
• FOO - Bandar Udara Yemburwo., Numfor Timur
• KBX - Bandar Udara Kambuaya, Sorong Selatan
• KCD - Bandar Udara Kamur, Asmat
• KBF - Bandar Udara Karubaga, Jayawijaya
• KEQ - Bandar Udara Kebar, Manokwari
• LLN - Bandar Udara Kelila, Jayawijaya
• KEI - Bandar Udara Kepi, Merauke
• KMM - Bandar Udara Kimaan, Merauke
• KOX - Bandar Udara Kokonao, Mimika
• LHI - Bandar Udara Lereh, Jayapura
• ZRM - Bandar Udara Mararena, Sarmi
• RDE - Bandar Udara Merdey, Manokwari
• MDP - Bandar Udara Mindiptana, Boven Digoel
• ONI - Bandar Udara Moanamani, Dogiyai
• LII - Bandar Udara Mulia, Puncak Jaya
• MUF - Bandar Udara Muting, Merauke
• NBX - Bandar Udara Nabire, Nabire
• OBD - Bandar Udara Obano, Nabire
• OKQ - Bandar Udara Okaba, Puncak Jaya
• OKL - Bandar Udara Oksibil, Pegunungan Bintang
• GAV - Bandar Udara Pulau Gag, Raja Ampat
• MKW - Bandar Udara Rendani, Manokwari
• SEH - Bandar Udara Senggeh, Keerom
• ZEG - Bandar Udara Senggo, Mappi
• NKD - Bandar Udara Sinak, Puncak Jaya
• ZRI - Bandar Udara Sudjarwo Tjondronegoro, Serui
• TMH - Bandar Udara Tanah Merah, Tanah Merah
• TXM - Bandar Udara Teminabuan, Teminabuan
• TMY - Bandar Udara Tiom, Jayawijaya
• FKQ - Bandar Udara Torea, Fakfak
• UBR - Bandar Udara Ubrub, Keerom
• KNG - Bandar Udara Utarom, Kaimana
• WET - Bandar Udara Waghete, Deiyai
• WMX - Bandar Udara Wamena, Wamena
• WAR - Bandar Udara Waris, Keerom
• WSR - Bandar Udara Wasior, Wasior
• RUF - Bandar Udara Yuruf, Jayawijaya
• UGU - Bandar Udara Zugapa, Paniai
• SOQ - Bandar Udara Domine Eduard Osok, Sorong
Jumat, 20 Agustus 2010
Senin, 16 Agustus 2010
Cagar Alam Cyclop
Pegunungan Cycloops ditetapkan menjadi cagar alam pada Tahun 1995. Digunakan pula, sebagai pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sana terdapat berbagai jenis tumbuhan, hewan endemik dan serangga khas Papua. Sayangnya, dari waktu ke waktu, cagar alam ini semakin berada diambang “Tutup Usia”.
Cyclop merupakan nama yang diberikan oleh seorang tentara kolonial. Cyclop atau Robong Holo mempunyai makna yang berarti daerah atau hutan air (bahasa Sentani, red), Secara psikis nama ini bertujuan untuk membangkitkan niat menjaga Daerah Pegunungan Robong Holo dari kerusakan hutan yang akan berdampak terhadap siklus air. Kerusakan ini memang telah terasa memasuki paruh 2000 an, hutan di wilayah ini telah dibabat habis.
Ancaman kerusakan kawasan Cagar Alam Cyclop, ternyata juga mendapatkan perhatian serius dari Kepala Distrik Sentani. Dalam sebuah kesempatan, Drs. K Tokoro, M.Si, kala itu mengatakan, perubahan dan kerusakan hutan di Cyclop telah semakin mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani secara serius, akan menggangu kehidupan masyarakat Sentani yang tinggal dikawasan kaki Gunung Cyclop. “Apabila tidak ditangani secara serius dengan peraturan dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh, kerusakan Gunung Cyclop ini akan menjadi ancaman serius bagi kota Sentani,” ujarnya.
Diungkapkan, perubahan kerusakan lingkungan hutan ini sudah terasa pada hampir semua sungai. Dimana airnya mulai mengering dan meluap saat terjadi hujan. Dalam beberapa waktu, meski hujan sebentar, air yang meluap telah membuat sumber air minum keruh oleh endapan lumpur. Hal ini menurutnya, akibat aktivitas penebangan hutan dan pembukaan kebun secara liar di kawasan Cagar Alam Gunung Cyclop.
Seperti Tokoro, Direktur WWF-Indonesia Region Sahul Benja V Mambai mengungkapkan, menurunnya tingkat kejernihan air bersih serta berkurangnya volume sumber air di daerah hilir, di Sentani, diakibatkan adanya potensi kerusakan lingkungan alam di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), utamanya di Kawasan Cagar Alam Cyclop Sentani.
“DAS adalah suatu wilayah daratan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut, dimana pengairannya sangat tergantung aktifitas daratan,” ujar Benja Mambai dalam seminar hasil study keadaan DAS Sentani dan Tami di Aula Fakultas Mipa Universitas Cenderawasih (Uncen), belum lama ini.
Jika DAS kondisinya telah mengalami kerusakan, kata Mambai, maka yang terjadi adalah titik-titik potensi penampungan atau penyimpanan air berkurang. Akibatnya yang terjadi adalah penurunan sumber-sumber air di kawasan hilir.
Sementara itu, Anggota Forum DAS Pemprov Papua, J.P Satsuitubun mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan kritis di Sub DAS Sentani (Hubay) adalah 819 Ha atau 49,3% dari luas Sub DAS. Untuk mengatasi lahan kritis itu, berbagai upaya telah dilakukan tapi hasilnya belum maksimal. “Kekeruhan air sungai Hubay atau Jembatan Dua Sentani juga dipicu oleh aktivitas pendulangan emas dibagian Sub DAS serta penggalian batu pada lereng-lereng gunung,” sebut Satsuitubun dalam presentasinya.
Seperti halnya Mambai, Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura, Gading Butar-butar mengatakan, saat ini Kawasan Pegunungan Cyclop yang menjadi sumber mata air bagi PDAM guna memenuhi kebutuhan air bersih di seluruh Kota Jayapura dan sekitarnya sudah kritis. “Kritis dalam hal ini maksudnya adalah kondisi alam dan hutannya yang sudah banyak yang dirusak oleh oknum yang bermukim di sekitar areal tersebut,” kata Gading di Jayapura.
Ia menjelaskan, saat ini kawasan yang sebenarnya merupakan areal konservasi tersebut telah berubah menjadi pemukiman warga yang berdampak pada dibukanya lahan baru sehingga mengakibatkan sumber air menjadi terganggu.
Kebanyakan warga yang bermukim di areal Gunung Cyclop, yang membongkar hutan, adalah mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. “Menurut data terakhir yang kami miliki, saat ini tercatat kurang lebih 5.230 orang yang sudah bermukim di sana,” ujarnya.
Gading mengungkapkan, jumlah debit air yang ada di Gunung Cyclops sebenarnya hanya sedikit, tetap sangat terbantu dengan banyaknya pepohonan di sana yang berfungsi menyimpan air, sehingga selama ini bisa dioptimalkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat. “Sekarang ini, pepohonan sudah banyak yang ditebang, saya khawatir kalau kondisi terus terjadi, masyarakat akan kehilangan sumber air bersih utama selama ini,” paparnya.
Ditambahkannya, dari 38 sungai kecil yang ada di gunung Cyclop, saat ini yang terus mengalirkan air tinggal 4 sungai saja. “Ini sudah jadi satu bukti nyata yang sangat membahayakan,” ungkap Gading.
Gading meminta perhatian semua pihak terutama Pemerintah Daerah Papua, dan Kabupaten Jayapura, untuk segera memberikan pemahaman atau relokasi kepada warga yang bermukim di kaki Gunung Cyclops. “Bagaimana penataan kota, ini menjadi sangat berperan penting,” ujarnya.
Untuk mengatasi kritisnya Cyclop, pernah sekali waktu, pada pertengahan Agustus kemarin, sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi Cagar Alam Cyclop, sejumlah mahasiswa Universitas Yapis Papua, Kampus Sentani Angkatan VI Tahun Akademik 2009/2010 mengadakan penghijauan. Mereka menanam 500 pohon rambutan di lereng Gunung Cyclop. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diikuti 78 mahasiswa dari beberapa Fakultas Uniyap seperti, Hukum, Ekonomi, Fisip dan juga Agama Islam. Menurut Ketua Panitia KKL, Yosep Jek, kegiatan KKL yang diikuti Mahasiswa semester VII tersebut bertujuan untuk membangkitkan kembali Cyclop yang dilanda masalah. “Kita berharap dengan gerakan mahasiswa menanam pohon ini, warga lain di Jayapura juga dapat mengikutinya. Ini bertujuan untuk melindungi dan menyegarkan kembali Cyclop yang telah rusak,” ujarnya.
Penyegaran kembali Cyclop memang perlu sedini mungkin dilakukan. Jika tidak, ancaman atasnya tentu tidak akan berkesudahan. Sudah menjadi tanggung jawab dari semua warga di Papua untuk melindungi Cyclop dari kerusakan hutan.
Cyclop merupakan nama yang diberikan oleh seorang tentara kolonial. Cyclop atau Robong Holo mempunyai makna yang berarti daerah atau hutan air (bahasa Sentani, red), Secara psikis nama ini bertujuan untuk membangkitkan niat menjaga Daerah Pegunungan Robong Holo dari kerusakan hutan yang akan berdampak terhadap siklus air. Kerusakan ini memang telah terasa memasuki paruh 2000 an, hutan di wilayah ini telah dibabat habis.
Ancaman kerusakan kawasan Cagar Alam Cyclop, ternyata juga mendapatkan perhatian serius dari Kepala Distrik Sentani. Dalam sebuah kesempatan, Drs. K Tokoro, M.Si, kala itu mengatakan, perubahan dan kerusakan hutan di Cyclop telah semakin mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani secara serius, akan menggangu kehidupan masyarakat Sentani yang tinggal dikawasan kaki Gunung Cyclop. “Apabila tidak ditangani secara serius dengan peraturan dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh, kerusakan Gunung Cyclop ini akan menjadi ancaman serius bagi kota Sentani,” ujarnya.
Diungkapkan, perubahan kerusakan lingkungan hutan ini sudah terasa pada hampir semua sungai. Dimana airnya mulai mengering dan meluap saat terjadi hujan. Dalam beberapa waktu, meski hujan sebentar, air yang meluap telah membuat sumber air minum keruh oleh endapan lumpur. Hal ini menurutnya, akibat aktivitas penebangan hutan dan pembukaan kebun secara liar di kawasan Cagar Alam Gunung Cyclop.
Seperti Tokoro, Direktur WWF-Indonesia Region Sahul Benja V Mambai mengungkapkan, menurunnya tingkat kejernihan air bersih serta berkurangnya volume sumber air di daerah hilir, di Sentani, diakibatkan adanya potensi kerusakan lingkungan alam di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), utamanya di Kawasan Cagar Alam Cyclop Sentani.
“DAS adalah suatu wilayah daratan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut, dimana pengairannya sangat tergantung aktifitas daratan,” ujar Benja Mambai dalam seminar hasil study keadaan DAS Sentani dan Tami di Aula Fakultas Mipa Universitas Cenderawasih (Uncen), belum lama ini.
Jika DAS kondisinya telah mengalami kerusakan, kata Mambai, maka yang terjadi adalah titik-titik potensi penampungan atau penyimpanan air berkurang. Akibatnya yang terjadi adalah penurunan sumber-sumber air di kawasan hilir.
Sementara itu, Anggota Forum DAS Pemprov Papua, J.P Satsuitubun mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan kritis di Sub DAS Sentani (Hubay) adalah 819 Ha atau 49,3% dari luas Sub DAS. Untuk mengatasi lahan kritis itu, berbagai upaya telah dilakukan tapi hasilnya belum maksimal. “Kekeruhan air sungai Hubay atau Jembatan Dua Sentani juga dipicu oleh aktivitas pendulangan emas dibagian Sub DAS serta penggalian batu pada lereng-lereng gunung,” sebut Satsuitubun dalam presentasinya.
Seperti halnya Mambai, Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura, Gading Butar-butar mengatakan, saat ini Kawasan Pegunungan Cyclop yang menjadi sumber mata air bagi PDAM guna memenuhi kebutuhan air bersih di seluruh Kota Jayapura dan sekitarnya sudah kritis. “Kritis dalam hal ini maksudnya adalah kondisi alam dan hutannya yang sudah banyak yang dirusak oleh oknum yang bermukim di sekitar areal tersebut,” kata Gading di Jayapura.
Ia menjelaskan, saat ini kawasan yang sebenarnya merupakan areal konservasi tersebut telah berubah menjadi pemukiman warga yang berdampak pada dibukanya lahan baru sehingga mengakibatkan sumber air menjadi terganggu.
Kebanyakan warga yang bermukim di areal Gunung Cyclop, yang membongkar hutan, adalah mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. “Menurut data terakhir yang kami miliki, saat ini tercatat kurang lebih 5.230 orang yang sudah bermukim di sana,” ujarnya.
Gading mengungkapkan, jumlah debit air yang ada di Gunung Cyclops sebenarnya hanya sedikit, tetap sangat terbantu dengan banyaknya pepohonan di sana yang berfungsi menyimpan air, sehingga selama ini bisa dioptimalkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat. “Sekarang ini, pepohonan sudah banyak yang ditebang, saya khawatir kalau kondisi terus terjadi, masyarakat akan kehilangan sumber air bersih utama selama ini,” paparnya.
Ditambahkannya, dari 38 sungai kecil yang ada di gunung Cyclop, saat ini yang terus mengalirkan air tinggal 4 sungai saja. “Ini sudah jadi satu bukti nyata yang sangat membahayakan,” ungkap Gading.
Gading meminta perhatian semua pihak terutama Pemerintah Daerah Papua, dan Kabupaten Jayapura, untuk segera memberikan pemahaman atau relokasi kepada warga yang bermukim di kaki Gunung Cyclops. “Bagaimana penataan kota, ini menjadi sangat berperan penting,” ujarnya.
Untuk mengatasi kritisnya Cyclop, pernah sekali waktu, pada pertengahan Agustus kemarin, sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi Cagar Alam Cyclop, sejumlah mahasiswa Universitas Yapis Papua, Kampus Sentani Angkatan VI Tahun Akademik 2009/2010 mengadakan penghijauan. Mereka menanam 500 pohon rambutan di lereng Gunung Cyclop. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diikuti 78 mahasiswa dari beberapa Fakultas Uniyap seperti, Hukum, Ekonomi, Fisip dan juga Agama Islam. Menurut Ketua Panitia KKL, Yosep Jek, kegiatan KKL yang diikuti Mahasiswa semester VII tersebut bertujuan untuk membangkitkan kembali Cyclop yang dilanda masalah. “Kita berharap dengan gerakan mahasiswa menanam pohon ini, warga lain di Jayapura juga dapat mengikutinya. Ini bertujuan untuk melindungi dan menyegarkan kembali Cyclop yang telah rusak,” ujarnya.
Penyegaran kembali Cyclop memang perlu sedini mungkin dilakukan. Jika tidak, ancaman atasnya tentu tidak akan berkesudahan. Sudah menjadi tanggung jawab dari semua warga di Papua untuk melindungi Cyclop dari kerusakan hutan.
INFORMASI OBJECT WISATA DI JAYAPURA
JAYAPURA
Jayapura is a provincial capital of irian jaya, a bustling city of over 2.163 847 population comprising locals and Transmigrants from other parts of Indonesia. The town has been founded by Dutch in 1910 and was named by hollandia. After irian’s integration into Indonesia it become kota baru, and again changed briefly to sukarnopura before assuming its current name Jayapura. After the world war 2, and development, launched on the island by government, the name of the town changed to be jayapura until today. “Jaya” means victory and “Pura” means fort, so Jayapura was a victory fort.
Papu has been split into two provinces in 1999 West irian with the capital of manokwari, and papua the main province with the capitalof Jayapura. Papu situate in the eastern part of Indonesia, covering an area of 410.000 square km spanning from lowland and swamplands. Around 75% live in rural area and remote area, there are 253 tribe and ethnics, and every tribe has their own language. Generally the language is classified in two major categories, Austronesian and Non Ausronesian. This city is unique with the topography with shapely circling downtown followed by the sea shore line and road up and down the hills slope.
Hamadi Beach
The beach was landing site for allies in the world war II (April 22, 1944) under the commend General Douglas McArthur. 217 War ships and 80.000 men, led by 50,000 American and Australian combat troops landed here in the summer 1944. only in four short months allies had defeated Japanese and conquered all the north coast of irian. After the war end all the vintage tanks and landing craft left behind and now layed rusted along it’s almost 2 km long beachside
Skyline
Situated on hill top, on the main road from jayapura to sentani, stood few meters across the main road in front of jayanti park, is a pura or hindu temple. Further to the right is a vihara or buddhst temple. Enggros and tobati are two traditional villages in yotepa bay underneath. Stilt house and fishermen boats are picturesque from here.
Lake Sentani
The lake is located in sentani district, cover an area of 9.360 ha with the height of 75 m above sea level.and The community characteristic stilt housing at the banks of the lake.the only path to connect each house is by wooden bridge. Sentani tribe who have been settle the island and the surrounding areas hundred years ago, were known for their bright and colorful wood carvings and painting bark cloth. But today only few old men in the village doing wood carving, but we still see their canoes and paddle carve in fish or lizar’s motif, around 75% of local people on the islands area fisherman, the rest 25% work in the government and small private business office in town.
Monument General McArthur
This monument was built on a hill top called ‘Pelway mogho’ by the sentani people and popular with the name ifar gunung it is a historical value as a symbol and testament to the mighty of American at Allied forces under the commend of General McArthur
When the monument built?
What activities of McArthur during living on the top of mountain?
Who had built the monument?
How long he had been lived there?
Pepera monument
This monument was built to commemorate the declaration of the act free choice in 1969. in Indonesian language they use the acronym PEPERA when referring to this. The plebiscite was hold 6 years after the United Nation had passed irian jaya / now papua over to Indonesian control in APO. The first allied army post, 500 m from the center of papua.
Museum
The loka budaya museum of Cendrawasih university has a good of collection 1.885 cultural materials for all regencies in papua which consist of:
1. House hold equipments
2. Traditional arts
3. The instrument of money that connected with the earn of living like forming equipment
4. Dress and accessory
5. War equipment
6. Paying tools
7. Sacred materials
8. Transportation tools
Yotefa Bay
This Bay stand three village called Enggros, Tobati, and Nafri. Traditional live and old customs are still alive. There are variety customs which you can observe for example the inauguration of village head, titled house, rowing races and traditional ance.
Wamena
Jayawijay regency with the capital wamena, situated in the interior of papua island, exactly lies in a marvelous valley called Baliem valley, stretches some 80 km from one to another end. The maximum width is less than 20 km. surround by a forest clad mountains, it is patch work of well kept gardents, irrigations, channels, terrace mountain slopes and ‘honay’ tipical local houses, almost totally isolated from the rest of the world save from reliable air link with jayapura, the provincial capital. Dani tribe is the native of baliem valley who are popular as skilled farmer the stone, axe, scraper, knife of animal bone, bamboo spear and digger stick are the basic tools of them.
Killing Pig Attraction
This attraction presented to show how to hunt and kill pig with bow and arrow. After killing, the pig will be tied and prepared to cook in their style in earth oven on the heated stones called SNIHELEP.
Traditional house
The traditional house in wamena, the round shaped housings with coarse grass roofs, wooden walls without windows called honay by wamena people.
Baliem river hanging bridge
This bridge was formerly built by the local people in traditional style to pass Baliem River. Now it is changed from rattan to steel wire, it is 90 m long, located in wesaput 2km from wamena town.
Jayapura is a provincial capital of irian jaya, a bustling city of over 2.163 847 population comprising locals and Transmigrants from other parts of Indonesia. The town has been founded by Dutch in 1910 and was named by hollandia. After irian’s integration into Indonesia it become kota baru, and again changed briefly to sukarnopura before assuming its current name Jayapura. After the world war 2, and development, launched on the island by government, the name of the town changed to be jayapura until today. “Jaya” means victory and “Pura” means fort, so Jayapura was a victory fort.
Papu has been split into two provinces in 1999 West irian with the capital of manokwari, and papua the main province with the capitalof Jayapura. Papu situate in the eastern part of Indonesia, covering an area of 410.000 square km spanning from lowland and swamplands. Around 75% live in rural area and remote area, there are 253 tribe and ethnics, and every tribe has their own language. Generally the language is classified in two major categories, Austronesian and Non Ausronesian. This city is unique with the topography with shapely circling downtown followed by the sea shore line and road up and down the hills slope.
Hamadi Beach
The beach was landing site for allies in the world war II (April 22, 1944) under the commend General Douglas McArthur. 217 War ships and 80.000 men, led by 50,000 American and Australian combat troops landed here in the summer 1944. only in four short months allies had defeated Japanese and conquered all the north coast of irian. After the war end all the vintage tanks and landing craft left behind and now layed rusted along it’s almost 2 km long beachside
Skyline
Situated on hill top, on the main road from jayapura to sentani, stood few meters across the main road in front of jayanti park, is a pura or hindu temple. Further to the right is a vihara or buddhst temple. Enggros and tobati are two traditional villages in yotepa bay underneath. Stilt house and fishermen boats are picturesque from here.
Lake Sentani
The lake is located in sentani district, cover an area of 9.360 ha with the height of 75 m above sea level.and The community characteristic stilt housing at the banks of the lake.the only path to connect each house is by wooden bridge. Sentani tribe who have been settle the island and the surrounding areas hundred years ago, were known for their bright and colorful wood carvings and painting bark cloth. But today only few old men in the village doing wood carving, but we still see their canoes and paddle carve in fish or lizar’s motif, around 75% of local people on the islands area fisherman, the rest 25% work in the government and small private business office in town.
Monument General McArthur
This monument was built on a hill top called ‘Pelway mogho’ by the sentani people and popular with the name ifar gunung it is a historical value as a symbol and testament to the mighty of American at Allied forces under the commend of General McArthur
When the monument built?
What activities of McArthur during living on the top of mountain?
Who had built the monument?
How long he had been lived there?
Pepera monument
This monument was built to commemorate the declaration of the act free choice in 1969. in Indonesian language they use the acronym PEPERA when referring to this. The plebiscite was hold 6 years after the United Nation had passed irian jaya / now papua over to Indonesian control in APO. The first allied army post, 500 m from the center of papua.
Museum
The loka budaya museum of Cendrawasih university has a good of collection 1.885 cultural materials for all regencies in papua which consist of:
1. House hold equipments
2. Traditional arts
3. The instrument of money that connected with the earn of living like forming equipment
4. Dress and accessory
5. War equipment
6. Paying tools
7. Sacred materials
8. Transportation tools
Yotefa Bay
This Bay stand three village called Enggros, Tobati, and Nafri. Traditional live and old customs are still alive. There are variety customs which you can observe for example the inauguration of village head, titled house, rowing races and traditional ance.
Wamena
Jayawijay regency with the capital wamena, situated in the interior of papua island, exactly lies in a marvelous valley called Baliem valley, stretches some 80 km from one to another end. The maximum width is less than 20 km. surround by a forest clad mountains, it is patch work of well kept gardents, irrigations, channels, terrace mountain slopes and ‘honay’ tipical local houses, almost totally isolated from the rest of the world save from reliable air link with jayapura, the provincial capital. Dani tribe is the native of baliem valley who are popular as skilled farmer the stone, axe, scraper, knife of animal bone, bamboo spear and digger stick are the basic tools of them.
Killing Pig Attraction
This attraction presented to show how to hunt and kill pig with bow and arrow. After killing, the pig will be tied and prepared to cook in their style in earth oven on the heated stones called SNIHELEP.
Traditional house
The traditional house in wamena, the round shaped housings with coarse grass roofs, wooden walls without windows called honay by wamena people.
Baliem river hanging bridge
This bridge was formerly built by the local people in traditional style to pass Baliem River. Now it is changed from rattan to steel wire, it is 90 m long, located in wesaput 2km from wamena town.
Langganan:
Postingan (Atom)