Pegunungan Cycloops ditetapkan menjadi cagar alam pada Tahun 1995. Digunakan pula, sebagai pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sana terdapat berbagai jenis tumbuhan, hewan endemik dan serangga khas Papua. Sayangnya, dari waktu ke waktu, cagar alam ini semakin berada diambang “Tutup Usia”.
Cyclop merupakan nama yang diberikan oleh seorang tentara kolonial. Cyclop atau Robong Holo mempunyai makna yang berarti daerah atau hutan air (bahasa Sentani, red), Secara psikis nama ini bertujuan untuk membangkitkan niat menjaga Daerah Pegunungan Robong Holo dari kerusakan hutan yang akan berdampak terhadap siklus air. Kerusakan ini memang telah terasa memasuki paruh 2000 an, hutan di wilayah ini telah dibabat habis.
Ancaman kerusakan kawasan Cagar Alam Cyclop, ternyata juga mendapatkan perhatian serius dari Kepala Distrik Sentani. Dalam sebuah kesempatan, Drs. K Tokoro, M.Si, kala itu mengatakan, perubahan dan kerusakan hutan di Cyclop telah semakin mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani secara serius, akan menggangu kehidupan masyarakat Sentani yang tinggal dikawasan kaki Gunung Cyclop. “Apabila tidak ditangani secara serius dengan peraturan dan pelaksanaan yang sungguh-sungguh, kerusakan Gunung Cyclop ini akan menjadi ancaman serius bagi kota Sentani,” ujarnya.
Diungkapkan, perubahan kerusakan lingkungan hutan ini sudah terasa pada hampir semua sungai. Dimana airnya mulai mengering dan meluap saat terjadi hujan. Dalam beberapa waktu, meski hujan sebentar, air yang meluap telah membuat sumber air minum keruh oleh endapan lumpur. Hal ini menurutnya, akibat aktivitas penebangan hutan dan pembukaan kebun secara liar di kawasan Cagar Alam Gunung Cyclop.
Seperti Tokoro, Direktur WWF-Indonesia Region Sahul Benja V Mambai mengungkapkan, menurunnya tingkat kejernihan air bersih serta berkurangnya volume sumber air di daerah hilir, di Sentani, diakibatkan adanya potensi kerusakan lingkungan alam di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), utamanya di Kawasan Cagar Alam Cyclop Sentani.
“DAS adalah suatu wilayah daratan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut, dimana pengairannya sangat tergantung aktifitas daratan,” ujar Benja Mambai dalam seminar hasil study keadaan DAS Sentani dan Tami di Aula Fakultas Mipa Universitas Cenderawasih (Uncen), belum lama ini.
Jika DAS kondisinya telah mengalami kerusakan, kata Mambai, maka yang terjadi adalah titik-titik potensi penampungan atau penyimpanan air berkurang. Akibatnya yang terjadi adalah penurunan sumber-sumber air di kawasan hilir.
Sementara itu, Anggota Forum DAS Pemprov Papua, J.P Satsuitubun mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan kritis di Sub DAS Sentani (Hubay) adalah 819 Ha atau 49,3% dari luas Sub DAS. Untuk mengatasi lahan kritis itu, berbagai upaya telah dilakukan tapi hasilnya belum maksimal. “Kekeruhan air sungai Hubay atau Jembatan Dua Sentani juga dipicu oleh aktivitas pendulangan emas dibagian Sub DAS serta penggalian batu pada lereng-lereng gunung,” sebut Satsuitubun dalam presentasinya.
Seperti halnya Mambai, Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura, Gading Butar-butar mengatakan, saat ini Kawasan Pegunungan Cyclop yang menjadi sumber mata air bagi PDAM guna memenuhi kebutuhan air bersih di seluruh Kota Jayapura dan sekitarnya sudah kritis. “Kritis dalam hal ini maksudnya adalah kondisi alam dan hutannya yang sudah banyak yang dirusak oleh oknum yang bermukim di sekitar areal tersebut,” kata Gading di Jayapura.
Ia menjelaskan, saat ini kawasan yang sebenarnya merupakan areal konservasi tersebut telah berubah menjadi pemukiman warga yang berdampak pada dibukanya lahan baru sehingga mengakibatkan sumber air menjadi terganggu.
Kebanyakan warga yang bermukim di areal Gunung Cyclop, yang membongkar hutan, adalah mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. “Menurut data terakhir yang kami miliki, saat ini tercatat kurang lebih 5.230 orang yang sudah bermukim di sana,” ujarnya.
Gading mengungkapkan, jumlah debit air yang ada di Gunung Cyclops sebenarnya hanya sedikit, tetap sangat terbantu dengan banyaknya pepohonan di sana yang berfungsi menyimpan air, sehingga selama ini bisa dioptimalkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat. “Sekarang ini, pepohonan sudah banyak yang ditebang, saya khawatir kalau kondisi terus terjadi, masyarakat akan kehilangan sumber air bersih utama selama ini,” paparnya.
Ditambahkannya, dari 38 sungai kecil yang ada di gunung Cyclop, saat ini yang terus mengalirkan air tinggal 4 sungai saja. “Ini sudah jadi satu bukti nyata yang sangat membahayakan,” ungkap Gading.
Gading meminta perhatian semua pihak terutama Pemerintah Daerah Papua, dan Kabupaten Jayapura, untuk segera memberikan pemahaman atau relokasi kepada warga yang bermukim di kaki Gunung Cyclops. “Bagaimana penataan kota, ini menjadi sangat berperan penting,” ujarnya.
Untuk mengatasi kritisnya Cyclop, pernah sekali waktu, pada pertengahan Agustus kemarin, sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi Cagar Alam Cyclop, sejumlah mahasiswa Universitas Yapis Papua, Kampus Sentani Angkatan VI Tahun Akademik 2009/2010 mengadakan penghijauan. Mereka menanam 500 pohon rambutan di lereng Gunung Cyclop. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang diikuti 78 mahasiswa dari beberapa Fakultas Uniyap seperti, Hukum, Ekonomi, Fisip dan juga Agama Islam. Menurut Ketua Panitia KKL, Yosep Jek, kegiatan KKL yang diikuti Mahasiswa semester VII tersebut bertujuan untuk membangkitkan kembali Cyclop yang dilanda masalah. “Kita berharap dengan gerakan mahasiswa menanam pohon ini, warga lain di Jayapura juga dapat mengikutinya. Ini bertujuan untuk melindungi dan menyegarkan kembali Cyclop yang telah rusak,” ujarnya.
Penyegaran kembali Cyclop memang perlu sedini mungkin dilakukan. Jika tidak, ancaman atasnya tentu tidak akan berkesudahan. Sudah menjadi tanggung jawab dari semua warga di Papua untuk melindungi Cyclop dari kerusakan hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar